Irma Nur Aviva
PEMIRA (Pemilihan Umum Raya) merupakan salah satu momen pengimplementasian prinsip demokrasi dalam lingkungan kampus. Pada ajang ini akan diadakan pemilihan raya untuk menentukan mandataris pejabat kampus (HMJ, BEM, BPM). Oleh karena itul PEMIRA menjadi salah satu momen tersakral terutama dalam lingkup Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, di mana pada ajang ini kemampuan dasar keilmuan mahasiswa FISIP dan idealismenya benar benar diadu.
Namun, pada awal Oktober 2025, mahasiswa FISIP dikejutkan dengan adanya edaran yang disebarkan oleh jajaran dekanat melalui broadcast telegram. Edaran tersebut menginformasikan bahwa dekan dan jajarannya tengah membuka rekrutmen untuk membentuk kepanitiaan KPUM dan Banwaslu yang seharusnya dilakukan oleh BPM selaku Badan Legislatif Mahasiswa. Dalam edaran itu pula tercantum “Timeline PEMIRA” yang seharusnya ditetapkan dan dipertimbangkan oleh panitia KPUM selaku penyelenggara PEMIRA.
Langkah gegabah dari jajaran dekanat FISIP UNEJ ini jelas menyalahi aturan tertulis, sebagaimana termaktub dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi : “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa”. Oleh sebab itu, tindakan pimpinan fakultas ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap demokrasi kampus dan pendiskreditan mahasiswa yang seharusnya menjadi agent of change. Mahasiswa yang seharusnya dibentuk dan dicetak untuk menjadi agen perubahan kini justru diarahkan untuk patuh pada pimpinan.
Tindakan semacam ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan preseden buruk bagi budaya demokrasi di lingkungan kampus. Demokrasi kampus bukan hanya ajang pemilihan formalitas, melainkan ruang belajar untuk menegakkan nilai partisipasi, transparansi, dan otonomi mahasiswa. Ketika ruang itu direbut oleh otoritas, maka kampus kehilangan jati dirinya sebagai laboratorium demokrasi.
Sangat disayangkan bahwa ruang berproses mahasiswa FISIP UNEJ yang kerap kali berprinsip bahwa “Kampus merupakan miniatur negara” ternodai oleh keputusan sepihak yang diambil oleh pimpinan fakultas. Jika dalam miniatur negara saja suara “akar rumput” tidak lagi menjadi pertimbangan, maka bagaimana nilai-nilai idealisme dan demokrasi itu akan dipertimbangkan?
Maka dari itulah demokrasi kampus tidak boleh dibiarkan mati di tangan birokrat. Perlu disadari bersama bahwa menjaga marwah demokrasi berarti menjaga ruang diri sendiri untuk bebas berpikir, berpendapat, dan berdaulat.




