Gadis yang tengah berjalan memecah ramainya kota dengan mengenakan seragam sekolah, dibalut hoodie berwarna merah muda itu, bernama Tarida Anindya Raksatama. Tak ada yang berarti dari nama itu, selain Tarida merupakan singkatan dari nama kedua orang tuanya, yaitu Tari dan Yuda.
AMOR FATI
Rida mengawali perjalanannya dengan mencari makna dalam nama yang saat ini ia sandang. Sejak kecil, Rida selalu bertanya, sesungguhnya apa makna dari namanya? Dan mengapa harus Rida? Namun percuma saja, karena bahkan yang memberikan nama itu adalah mendiang kakeknya yang meninggal sebelum Rida dilahirkan ke dunia ini. Katanya, nama itu merupakan salah satu dari peninggalan kakek Rida yang dititipkan kepada ibunya melalui secarik kertas pada saat usia kandungan ibunya menginjak empat bulan.
Saat itu, usianya baru dua belas tahun ketika ia melompat-lompat kegirangan setelah berhasil menemukan makna dari namanya melalui internet. Bagi Rida, saat itu ia telah berhasil menemukan satu kepingan teka-teki hidupnya. Walaupun ia tak pernah benar-benar tahu apakah itu makna yang sebenarnya atau tidak, tetapi bukankah hal yang terus-menerus diyakini akan menjadi sebuah kebenaran?
Tarida berasal dari bahasa Batak yang berarti “tampak atau jelas.” Anindya berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “sempurna atau tidak bercela.” Raksatama juga berasal dari bahasa Sanskerta yang memiliki arti “pelindung yang hebat.”
Dari sana, ia menyimpulkan bahwa ia dikaruniai nama yang amat sangat indah. Rida meyakini bahwa makna dari dalam namanya ini merupakan pesan kakeknya untuknya: “Pelindung yang dapat melihat segala hal dengan jelas dan tak bercela.
KRING…
KRING…
KRING…
Suara bel sekolah yang kala itu berjarak lima meter dari tempat Rida berdiri menyentakkan Rida dari lamunannya. Sontak, gadis itu pun berlarian bak dikejar anjing liar. Rambutnya yang ikal bergoyang tak beraturan, dan napasnya tersengal.
“Bapak! Jangan ditutup dulu!” serunya dengan suara parau ke arah satpam yang tengah mendorong pagar.
Satpam itu sontak menoleh dengan satu alis terangkat, seakan sudah kenal betul siapa gadis yang tengah berlarian itu.
“Besok-besok jangan telat lagi, Neng,” ujarnya sembari menutup pagar setelah Rida masuk.
Rida hanya membalasnya dengan senyum getir. Dia tidak bisa berjanji bahwa besok ia akan datang tepat waktu. Dan satpam itu pun seakan sudah tahu makna dari senyuman Rida pagi itu.
Rida masuk ke ruang kelas setelah meminta maaf kepada guru yang tengah menulis di papan putih kelasnya. Bu Vena, nama guru PPKn yang sangat disegani dan dihormati Rida. Bukan tanpa alasan Rida mengaguminya. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun, ia sudah berhasil menjadi guru di salah satu SMA ternama di kota ini.
Rida duduk. Seperti biasa, paling ujung dekat jendela. Di sebelahnya, Gendis mengelus punggung tangan Rida pelan.
“Lagi-lagi?” tanya Gendis.
Rida hanya mengangguk pelan. Ia melihat ke arah guratan spidol yang telah ditorehkan Bu Vena: KESETARAAN GENDER. Sebuah frasa yang sudah tak asing lagi.
“Siapa yang mau menyampaikan pendapat tentang pengalaman ketimpangan gender di sekitar kalian?” Suara Bu Vena mengambang di ruang kelas seperti asap dupa yang mencari udara.
Tak ada respons apa pun dari penghuni kelas itu. Sunyi. Entah mereka takut atau mungkin ‘ketimpangan’ itu sudah asing dan tak pernah lagi dirasakan oleh mereka. Hingga beberapa waktu kemudian, Rida mengangkat tangannya, mencuri perhatian seisi ruangan.
“Setiap pagi, aku bangun sebelum ayam di belakang rumah berkokok. Aku masak, aku mandikan adik, aku bersihkan rumah. Lalu aku berlari ke sekolah. Sementara kakakku, ia bangun sesuka hati. Lalu makan, kemudian pergi. Tak ada yang memarahinya. Karena katanya, dia laki-laki,” ujarnya setelah dipersilakan oleh Bu Vena.
“Awalnya aku kira itu biasa. Tapi makin aku belajar, makin aku sadar bahwa itu bukan biasa. Itu warisan. Warisan yang seharusnya berhenti.” Lanjut Rida. Ia mengangkat wajahnya. Mata bening itu menembus ruang dan waktu, membuka luka atas ketidakadilan yang ia alami.
“Kata Ibu, perempuan harus tahan. Tapi aku ingin menjadi perempuan yang tahu kapan harus berkata cukup. Mungkin itu sebabnya Kakek menamai aku ‘Tarida’, agar aku melihat semuanya dengan jelas. Termasuk ketidakadilan yang dibungkus adat, serta luka yang diwariskan oleh norma.”
Bu Vena menatapnya lama, seakan mengisyaratkan suatu hal, sebelum akhirnya berbisik, “Terima kasih, Rida.”
Terima kasih mungkin terdengar klasik di telinga sebagian orang. Tapi pada situasi ini, hanya kata itulah yang masuk akal untuk disampaikan atas keberanian Rida membuka lukanya.
Rida kembali duduk, disambut riuh gemuruh tepuk tangan dari seisi kelas. Di dalam dirinya, sesuatu telah pecah. Tidak, bukan seperti kaca, tetapi seperti benih yang akhirnya membuka kulitnya.
Rida, yang selama ini diam atas ketidakadilan yang diterimanya, kini telah berani menarik suara. Ia sadar bahwa keberanian bukan hadir begitu saja, tetapi tumbuh sedikit demi sedikit, seiring luka-luka yang dibiarkan terbuka dan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dijawab. Hingga hari itu, di ruang kelas yang dingin dan sunyi, suara Rida telah menjadi gema. Gema yang lahir dari lelah yang dipendam terlalu lama, dari beban-beban tak kasatmata yang hanya ditimpakan pada tubuh yang disebut perempuan.
Pulang sekolah, ia kembali berjalan di tengah riuh kota. Seragamnya sudah lusuh, hoodie merah mudanya tertiup angin sore. Tetapi langkah Rida terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sedang melawan angin, melainkan berjalan bersamanya.
Langit menggantung rendah di atas atap-atap rumah, dan matahari sekarat menumpahkan warna jingga ke jalanan yang sibuk. Di tengah semua itu, Rida melangkah, membawa tubuh mungilnya yang menyimpan tekad sebesar dunia.
Kini, namanya bukan lagi sekadar singkatan dari Tari dan Yuda. Bukan hanya sekadar tulisan di ijazah, atau sebutan saat tengah absen pagi. Kini ia telah menemukan sisa kepingan teka-teki misteri hidupnya. Ia ditakdirkan untuk melihat jelas bahwa keluarganya telah dibuat terlena oleh ‘norma’ yang tak seharusnya ada. Perempuan bukanlah mesin yang dirakit dan bekerja di ruang kerjanya (sumur, dapur, kasur). Perempuan juga makhluk hidup biasa layaknya seorang laki-laki.
Dan kini, ia bertekad bahwa ia akan memenuhi pesan mendiang kakeknya yang dititipkan melalui nama Tarida Anindya Raksatama. Ia bertekad untuk tidak hanya melihat dengan jelas, tetapi juga menjadi pelindung bagi orang-orang yang mungkin bernasib sama atau bahkan lebih buruk darinya. Namun saat ini, ia harus membangun kebiasaan-kebiasaan baik dan menciptakan iklim yang tidak mendiskreditkan salah satu gender di dalam lingkungan rumah dan keluarganya. Setelah itu, ia akan menyuarakannya kepada seluruh dunia.
Hening. Tapi mungkin, di dalam hening itu, dunia seperti menyimak. Dan dari jauh, mungkin Kakek Rida juga tersenyum bangga menatapnya.
Penulis : Yuni Rukiyatus Zahroh
Penyunting : Kenny Leviana A.
Ilustrator : Siti Nurhalimah