Home / Lensa Opini / Mengapa Harus Tambang, Diujung Ambang Mencari Keadilan

Mengapa Harus Tambang, Diujung Ambang Mencari Keadilan

Oleh : Hasyisy Ahmad

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun, miris sekali jika yang terjadi hari ini seolah-olah pasal itu berbunyi bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan, dieksplorasi, dan dieksploitasi untuk sebesar-besarnya perut dan dompet kaum kapitalis.” Dewasa ini, Indonesia tengah mengalami permasalahan dalam pemanfaatan sumber daya alam, di mana pemerintah lebih mengutamakan kelompok pemodal daripada rakyatnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 telah terjadi 295 letusan konflik agraria. KPA juga menjelaskan secara lebih detail bahwa konflik tersebut terjadi di lahan seluas 1,1 juta hektare dan berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Data ini menunjukkan adanya kenaikan konflik agraria dari tahun sebelumnya, yakni naik 21% dibanding tahun 2023.

Baru-baru ini, di ujung timur Pulau Madura terdapat ratusan pulau yang tidak terjamah oleh masyarakat dari luar. Kepulauan tersebut antara lain Pulau Kangean, Pulau Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, dan Pulau Sepanjang, serta masih banyak lagi. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yang mengatur pelarangan pertambangan di pulau kecil telah dikhianati oleh korporasi dan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Sumber daya alam Pagerungan Besar pada dasarnya telah dieksploitasi sejak akhir tahun 1993 oleh ARBNI (Atlantic Richfield Bali North Inc.), kemudian berganti menjadi BP Kangean Ltd., dan pada 2007 dikelola oleh PT Kangean Energi Indonesia (PT KEI), yang merupakan anak perusahaan dari PT Energi Mega Persada (PT EMP), bagian dari keluarga konglomerat kondang Indonesia, Aburizal Bakrie dalam Bakrie Group. Aktivitas ini sejatinya telah melanggar amanat UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km², sedangkan Kepulauan Kangean hanya memiliki luas sekitar 430–487 km². Tentu ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya sampai di situ, kerusakan ekologi dan kesenjangan sosial juga turut terjadi di Pagerungan Besar.

Sebuah skripsi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang menyebutkan bahwa masyarakat Pagerungan mendapatkan aliran listrik selama 24 jam dan pada 24 jam berikutnya terjadi pemadaman. Kondisi ini menguatkan pandangan penulis bahwa aktivitas pertambangan ini tidak mengedepankan asas keadilan. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa asas keadilan berarti perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. Pada dasarnya, output dari aktivitas tambang migas di Pagerungan digunakan untuk menyuplai tenaga listrik PLN Jawa Timur, namun mirisnya tempat di mana energi itu diambil tidak mendapatkan keadilan yang setimpal.

Ketidakadilan kesewenang-wenangan ini kembali terjadi. Kali ini PT. Kangean Energi Indonesia akan melakukan ekspansi untuk melakukan penambangan di Kangean Barat yang termasuk dalam Blok Kangean. Sontak hal ini mendapat sorotan masyarakat Kangean dengan gelombang penolakan terhadap survei seismik yang dilakukan PT. KEI. Masyarakat Kangean, terutama yang berada di kecamatan Arjasa menolak keras keberadaan tambang tersebut lantaran berkaca terhadap apa yang tengah terjadi di Pagerungan. Banyak masyarakat Arjasa mendapat informasi bahwa telah terjadi kerusakan ekologi di Pagerungan. Selain itu, perusahaan pertambangan biasanya akan memberikan tawaran menggiurkan dengan sebuah janji akan meningkatkan taraf ekonomi dan mensejahterakan masyarakat. Akan tetapi, realita yang terjadi justru berbanding terbalik dengan janji manis yang keluar dari mulut pemilik perusahaan. Hingga saat ini, pekerja perusahaan tambang di Pagerungan Besar didominasi oleh penduduk luar Pagerungan dan penduduk asli Pagerungan yang bekerja di PT. KEI hanya segelintir.

Permasalahan ini ternyata juga berasal dari dalam tubuh pemerintahan Kabupaten Sumenep. Kajian penulis menemukan bahwa terdapat Perda Kab. Sumenep No. 12 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kab. Sumenep tahun 2013-2033, yang secara eksplisit menetapkan kawasan pertambangan di wilayah Pagerungan. Perda ini secara hierakis telah bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya yakni UU No. 27 Tahun 2007. Pengabaian atas rasa keadilan dan pemenuhan hak hidup masyarakat kepulauan Pagerungan dan Kangean yang secara administratif masuk kedalam Kabupaten Sumenep tengah runtuh dan tidak mendapatkan respon serius pemerintah Kabupaten. Lebih lanjut, dalam perda itu pula disebutkan bahwa Pulau Kangean dijadikan sebagai pelabuhan pengumpul, dan kecamatan Kangean diperhitungkan untuk menjadi pusat transportasi dan kawasan strategis. Perda tersebut sejatinya telah menjelaskan bahwa Pulau Kangean tidak termasuk dalam wilayah tambang, meski pada dasarnya Kangean juga termasuk dalam wilayah yang dikenal dalam istilah Blok Kangean.

Hingga hari ini, masyarakat dan mahasiswa sedang berjuang untuk menolak survei seismik, yang merupakan langkah awal sebelum melakukan aktivitas pertambangan. Perlawanan demi perlawanan dilakukan demi keutuhan dan keadilan tanah air warga Kangean. Berharap pulau yang menjadi sumber hidup masyarakat Kangean tidak dirusak oleh korporasi yang tamak dan pemerintahan oportunis. Analisis sederhana penulis menggambarkan, kekhawatiran masyarakat Arjasa terhadap terulangnya kejadian di pagerungan sangat beralasan. Kerusakan ekologi dan ketimpangan sosial yang terjadi di Pagerungan sangat mungkin terjadi di Kangean. Maka ketika itu terjadi masyarakat Arjasa yang dikenal dengan daerah penghasil komoditas pertanian seperti cabe rawit, jagung dan padi serta masih banyak lainnya akan dapat terganggu oleh aktivitas pertambangan, terutama jika pertambangan tersebut dilakukan dalam jangka panjang, dan sudah barang tentu efek berkepanjangan juga akan turut terjadi didalamnya.

Polemik ini sejatinya telah menjadi sebuah pertanda kemunduran keadilan di Indonesia. Entah apa yang dipikirkan pemerintah untuk selalu mengandalkan sumber daya alam dan melihat dengan sebelah mata dampak aktivitas ekstraktif sumber daya alam terhadap masyarakat setempat. Tumpang tindih atas perundang-undangan juga mensyaratkan implikasi yang begitu kuat bahwa benar adanya sebuah undang-undang pesanan kelompok kepentingan di dalam roda pemerintahan.

Lawan Oligarki

Save Kangean!

Editor visual : Asna Aufia Penyunting : Yuni Rukiyatus Zahroh

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *