Home / Lensa Opini / Ingatan yang Disaring: Politik Kurikulum dan Dosa yang Disamarkan

Ingatan yang Disaring: Politik Kurikulum dan Dosa yang Disamarkan

Oleh : Atikah Silwa

Kekuasaan berasal dari senjata, dari uang, dan dari pengetahuan. Ketika seseorang berhasil duduk di kursi kekuasaan, ia tidak hanya menjadi seorang pemimpin, tetapi dapat menjadi aktor dalam panggung politik yang lebih besar. Belakangan ini, wacana “penulisan ulang sejarah” menjadi agenda resmi pemerintahan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto. Di satu sisi, upaya ini terlihat seperti mengoreksi narasi yang telah usang. Namun di sisi lain, Kita tidak bisa untuk berpura-pura tidak melihat bahwa Prabowo adalah bagian dari masa lalu yang penuh luka, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM berat pada era Orde Baru. Di tengah ambisi menata ulang sejarah baru bangsa, kita patut mengkritisi, apakah ini proyek untuk memperkuat cinta tanah air atau jutru proyek pembersihan dosa?

Penulisan ulang sejarah oleh Kementrian Kebudayaan dibingkai dengan tujuan yang mulia. Seperti memperbarui cerita sejarah berdasarkan temuan arkeologis, mengoreksi narasi kolonial, hingga memperkuat semangat kebangsaan. Namun, dalam draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia yang dikutip oleh Tempo, disebutkan bahwa tujuan tulisan ini adalah untuk menghasilkan buku yang merupakan ‘sejarah resmi’ dengan orientasi dan ‘kepentingan nasional’. Pernyataan ini membuka ruang spekulasi. Jika ada sejarah resmi, maka pasti ada pula sejarah yang tidak resmi, yakni sejarah yang sengaja disingkirkan. Frasa ‘kepentingan nasional’ sering kali menjadi dalih untuk menyaring fakta yang tidak nyaman bagi kekuasaan. Dalam sistem pendidikan kita, pelajar diajarkan mengenal negara melalui pelajaran etika, pendidikan kewarganegaraan, sejarah, dan ilmu sosial. Melalui mata pelajaran inilah negara meletakkan fondasi bagi terbentuknya suatu cara pandang tertentu. Kurikulum seperti ini sangatmemungkinkan negara untuk mempersiapkan kaum muda secara selektif untuk
hanya mengingat apa yang dianggap pantas untuk dikenang.

Dalam laman Tempo, Fadli Zon menyebut bahwa pemerintah membuka ruang diskusi tentang penulisan sejarah Indonesia. Terdengar demokratis, bukan? Namun kenyataannya, negara tetap menjadi aktor utama dalam menyusun ulang narasi sejarah melalui kendali atas pendidikan. Buku pelajaran yang digunakan di sekolah tidak pernah netral, Sebaliknya, menjadi perantara untuk menanamkan ideologi nasional tertentu. Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengontrol ketat isi buku pelajaran dan mempengaruhi penyajian
kurikulum secara menyeluruh. Dalam konteks ini, banyak hal yang sebetulnya dapat menjadi terang dan jelas justru dibuat kabur dan kacau karena telah dirasuki oleh ideologi. Buku pelajaran sekolah sebenarnya merupakan bagian penting dari kebudayaan negara-bangsa karena ia mencerminkan mentalitas yang dominan-bukan semata-mata pengetahuan yang objektif. Alih-alih membuka ruang diskusi yang bebas, sistem pendidikan kita justru membentuk kesadaran politik generasi muda secara terarah dan sistematis.

Di tengah arus penyaringan sejarah dan penguatan ideologi nasional, narasi-narasi yang penuh romantisme mulai mendominasi ruang publik. Agus Mulyana, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, dalam laporan Tempo, menyatakan bahwa “kita ini bukan bangsa yang kalah.” Pernyataan itu muncul dalam konteks penjelasan bahwa penjajahan Belanda tidak berlangsung selama 350 tahun di seluruh daerah, seperti di Aceh yang bahkan pada tahun 1930-an belum sepenuhnya ditaklukkan. Sekilas terdengar membanggakan. Namun narasi
seperti ini justru meromantisasi masa lalu – seakan sejarah kita penuh kemenangan dan harga diri, tanpa mau menengok kenyataan hari ini yang jauh lebih menyakitkan. Boleh saja kita tidak ditaklukan kolonialisme secara mutlak, tetapi bangsa ini masih dihantui bayang-bayang warisan kekuasaan lama: korupsi yang sistematis, kekerasan negara yang tidak pernah diusut tuntas, dan elit-elit yang diwariskan dari era Orde Baru. Kita boleh merasa menang dari penjajah luar, tapi bagaimana jika penjajahan kini datang dari dalam negeri sendiri?

Kita tidak takut pada sejarah. Yang kita takutkan adalah sejarah yang disusun untuk melupakan. Jika bangsa ini benar-benar ingin maju, maka kurikulum harus memberi ruang bagi luka-bukan menutupinya dengan cat narasi
baru. Ingatan yang jujur adalah jalan menuju keadilan. Dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berani menyebut pelanggaran, meskipun pelakunya kini duduk di singgahsana kekuasaan.

Daftar Pustaka

  • Afifa, L. N. (2021, Juli 30). Alasan pemerintah buat penulisan ulang sejarah Indonesia. Tempo. https://www.tempo.co/politik/alasan-pemerintah- buat-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-1513882
  • Tempo. (2022, April 6). Kontroversi penulisan ulang sejarah Indonesia. Tempo. https://www.tempo.co/politik/kontroversi-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-1563498
  • Mulder, N. (2001). Wacana publik Indonesia: Konstruksi budaya dan kehidupan kebangsaan. LKIS.

Editor visual : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *