Oleh : Muhammad Roihan Rizaldi
persprima.com, Jember – Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencabut empat izin penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menyusul gelombang protes dari aktivis lingkungan, akademisi, dan organisasi masyarakat adat. Keputusan ini menandai kemenangan sementara bagi upaya konservasi di kawasan yang dikenal sebagai jantung keanekaragaman hayati laut dunia.
Raja Ampat, dengan kepulauan karstnya yang menjulang dari perairan biru kehijauan, menyimpan 75 persen spesies koral dunia dan biodiversitas laut yang tak tertandingi. Namun, kawasan yang dijuluki “surga terakhir di bumi” ini hampir mengalami kerusakan permanen akibat rencana penambangan nikel yang dinilai mengabaikan aspek ekologis dan aspirasi masyarakat lokal.
Dilema Hilirisasi Industri Nikel
Indonesia tengah mengejar ambisi menjadi pusat industri baterai global, memanfaatkan cadangan nikel terbesar dunia sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Strategi hilirisasi ini mendorong pembukaan tambang-tambang baru secara masif di berbagai wilayah, termasuk kawasan-kawasan sensitif secara ekologis.
Namun, implementasi di lapangan menunjukkan banyak izin tambang dikeluarkan tanpa pengawasan lingkungan yang memadai dan tanpa melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa izin bahkan melanggar regulasi perlindungan kawasan konservasi.
Situasi ini menciptakan paradoks dalam transisi energi global. Di satu sisi, Indonesia memasok bahan baku untuk industri kendaraan listrik yang dianggap ramah lingkungan. Di sisi lain, proses ekstraksi nikel meninggalkan jejak kerusakan lingkungan berupa deforestasi, pencemaran air, dan perpindahan paksa masyarakat adat.
Kerentanan Ekosistem Pulau Kecil
Penambangan nikel di Raja Ampat seharusnya tidak pernah terjadi mengingat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Namun, izin-izin tambang terus bermunculan, bahkan di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan geopark.
Para ahli ekologi menekankan bahwa pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Kerusakan sekali terjadi akan sulit dipulihkan. Deforestasi dalam skala kecil dapat memicu longsor besar, sementara gangguan minimal terhadap tanah dapat menyebabkan sedimentasi yang merusak terumbu karang secara luas.
Penambangan di wilayah kepulauan juga kerap menimbulkan konflik sosial. Masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak memperoleh informasi yang cukup tentang dampak jangka panjang. Ketika mereka menyuarakan keberatan, aspirasi tersebut sering tenggelam dalam retorika pembangunan ekonomi.
Redefinisi Konsep Pembangunan
Penentangan terhadap rencana penambangan di Raja Ampat bukan merupakan sikap anti-pembangunan. Sebaliknya, hal ini mencerminkan dukungan terhadap model pembangunan berkelanjutan yang tidak mengorbankan masa depan demi keuntungan jangka pendek.
Industrialisasi tetap diperlukan, namun harus memiliki arah yang jelas, landasan etika yang kuat, dan batasan-batasan yang tegas. Indonesia tidak boleh menjadi negara yang menuai keuntungan hari ini dengan mewariskan beban lingkungan kepada generasi mendatang.
Data menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar area tambang selama ini tidak merasakan manfaat ekonomi yang signifikan dari kehadiran industri ekstraktif. Yang mereka terima justru dampak negatif berupa pencemaran udara, degradasi lahan, dan hilangnya akses terhadap sumber daya alam tradisional.
Agenda Kebijakan ke Depan
Pencabutan izin tambang di Raja Ampat merupakan langkah awal yang positif, namun diperlukan komitmen kebijakan yang lebih komprehensif untuk menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Tiga agenda utama perlu diprioritaskan:
Pertama, penerapan moratorium permanen terhadap aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tanpa pengecualian. Wilayah pulau kecil dan pesisir harus ditetapkan sebagai zona bebas tambang untuk melindungi ekosistem yang rentan.
Kedua, penguatan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Komunitas adat yang selama ini menjadi penjaga alam harus dilibatkan sebagai subjek aktif dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar objek sosialisasi kebijakan.
Ketiga, memastikan bahwa proses transisi energi berlangsung secara adil dan berkelanjutan. Strategi hilirisasi industri tidak dapat dijadikan pembenaran untuk praktik eksploitasi yang merugikan lingkungan dan masyarakat lokal.
Tanggung Jawab Nasional
Raja Ampat memiliki keunikan yang tidak dapat digantikan. Kawasan ini bukan sekadar destinasi wisata, melainkan pusat keanekaragaman hayati laut global yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan planet.
Berbeda dengan lokasi penambangan yang dapat dipindahkan, Raja Ampat adalah satu-satunya di dunia. Kehilangannya tidak hanya berarti rusaknya sektor pariwisata, tetapi juga hilangnya warisan alam yang tidak ternilai bagi umat manusia.
Melestarikan Raja Ampat merupakan tanggung jawab nasional dan moral, bukan hanya tugas aktivis lingkungan atau masyarakat Papua. Di tengah krisis iklim global, Indonesia dituntut tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga memelihara ekosistem yang masih dapat diselamatkan.
Keputusan pencabutan izin tambang di Raja Ampat menunjukkan bahwa pemerintah masih dapat merespons aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. Namun, konsistensi kebijakan dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan akan diuji dalam keputusan-keputusan serupa di masa mendatang.
Editor Visual : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti