Home / Warta / Warta UNEJ / Korban Tragedi Pemerkosaan 1998 Dikorbankan Kembali? Menjaga Citra Siapa?

Korban Tragedi Pemerkosaan 1998 Dikorbankan Kembali? Menjaga Citra Siapa?

Oleh : KRISNA TIMOTHY PUTRA KOMARA ARAY

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, dalam wawancaranya dengan IDN TIMES membuat pernyataan kontroversial mengenai tidak ada bukti kuat terkait terjadinya Tragedi Pemerkosaan Massal tahun 1998. Pernyataan ini tentu mengejutkan banyak pihak, terutama para aktivis ’98 yang menentang pernyataan tersebut. Dikutip dari detiknews, dalam judul berita “Aktivis Minta Menbud Fadli Zon Dipecat Buntut Sangkal Pemerkosaan Massal ’98,” salah satu aktivis ’98 bernama Mukhtar berkata, “Pemerkosaan terhadap kaum perempuan tahun ’98 itu benar terjadi. Itu benar terjadi dan betul-betul ada peristiwanya”. Selain itu mereka meminta Menteri Kebudayaan Fadli Zon dipecat karena pernyataannya itu. Pernyataan kontroversial ini muncul beriringan dengan proyek penulisan ulang sejarah nasional dalam bentuk “Buku Babon” yang akan dirilis Agustus 2025. Sebuah proyek besar yang diduga berhubungan dengan kepentingan politik kelompok? Entah, mari kita bedah.

Dalam fakta historis pada temuan TGPF dan kekerasan seksual 1988, laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pada Bab VI, poin 6 dengan jelas menyatakan, “…telah terjadi perkosaan yang dilakukan terhadap sejumlah perempuan dan sejumlah pelaku diberbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan, dapat terjadi secara spontan karena situasinya mendukung atau direkayasa oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu. Korban adalah penduduk Indonesia dengan berbagai latar belakang, yang diantaranya kebanyakan adalah etnis Cina.”

Terdapat bukti kekerasan seksual yang telah diverifikasi dengan total korban pemerkosaan sebanyak 52 orang. Verifikasi dilakukan melalui berbagai sumber, yaitu 3 orang korban yang memberikan kesaksian langsung, 9 korban yang diperiksa secara medis oleh dokter, 3 informasi dari orang tua korban, 10 dari saksi profesional seperti perawat, psikolog, atau psikiater, serta 27 kesaksian dari rohaniawan atau konselor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 korban mengalami pemerkosaan yang disertai penganiayaan, 10 korban mengalami penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban mengalami pelecehan seksual. Bentuk pemerkosaan yang paling dominan adalah gang rape, yaitu pemerkosaan yang dilakukan secara bergiliran oleh beberapa pelaku dalam waktu yang sama, bahkan seringkali terjadi di hadapan orang lain. Dengan data yang terpampang jelas dan fakta bahwa Temuan ini diperkuat oleh laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan mendapat pengakuan dari Presiden BJ Habibie pada saat itu, saya rasa ini sangat dapat menepis pernyataan Fadli Zon yang “katanya” tidak ada bukti kuat mengenai perkosaan massal ini. 
Pernyataan Fadli Zon tak bisa dilihat hanya sebagai opini individu biasa, terlebih posisi beliau sebagai Menteri Kebudayaan. Kita juga melihat bahwa saat ini, Kementerian Kebudayaan tengah menyusun buku babon Sejarah Indonesia, yang akan menjadi rujukan penting dalam pembentukan narasi sejarah nasional. 

Alih-alih menjadi proyek rekonsiliasi historis dan proyek pengungkapan sejarah yang benar, diduga “Buku Babon” Dalam konteks ini, Tragedi 1998 tidak benar-benar dihapus , namun terancam dihapus secara perlahan-lahan , melalui pengaburan, pengingkaran, dan pengabaian sistematis terhadap data, fakta, dan suara para korban. Dengan tidak memberi pernyataan yang layak bagi kekerasan seksual 1998, secara tidak langsung seperti ada pernyataan “ada peristiwa yang boleh diingat, dan ada yang sebaiknya dilupakan”. Terutama jika menyangkut citra kekuasaan. 

Sejarah dalam hal ini tidak lagi menjadi ruang refleksi melainkan tempat alat legitimasi. Ditengah tantangan kepercayaan masyarakat dalam pemerintahan saat ini, “buku babon” ini berfungsi untuk menuliskan narasi sejarah yang “aman dan positif” sesuai dengan pernyataan terakhir Fadli Zon dalam wawancaranya dengan IDN TIMES, “Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu”. 

Inilah bentuk nyata dari teori hegemoni seperti yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci, yakni penguasaan makna dan kesadaran melalui institusi budaya seperti pendidikan dan sejarah. Negara tidak perlu menindas secara fisik, cukup dengan mendefinisikan apa yang layak masuk buku sejarah , maka konteks bisa tercipta. Sementara itu, teori power-knowledge Michel Foucault, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya merepresi, tetapi juga memproduksi pengetahuan , menentukan apa yang dianggap sebagai “kebenaran”, dan apa yang tidak layak diakui sebagai pengetahuan sah. 

Dengan kata lain “Buku Babon” bukan hanya dokumen sejarah. Ia bisa menjadi  proyek politik yang menyamar sebagai proyek intelektual . Jika kekerasan seksual 1998 dibiarkan tidak mendapat tempat yang seharusnya di dalamnya, maka kita sedang menyaksikan bagaimana negara menjalankan kekuasaan melalui membentuk sejarah bukan berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan kebutuhan citra semata.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa sejarah bukan sekedar catatan masa lalu, melainkan petunjuk atau kompas yang dapat menilai keadilan di masa kini. Pernyataan Fadli Zon, dan dugaan dalam proyek buku sejarah yang berupaya menghapus tragedi rencana 1998, bukan hanya menyakiti  korban, tetapi juga berupaya menghapus luka bersama bangsa ini.

Kita tidak boleh diam. Sejarah tak boleh dimonopoli oleh satu rezim. Dalam era ini,  di mana informasi dikendalikan oleh kekuasaan, sudah menjadi tugas bagi generasi muda untuk membaca lebih kritis, mengingat lebih keras, dan menyuarakan kebenaran lebih lantang . Kita harus terus “berisik”, harus terus menceritakan kisah-kisah yang sengaja dikubur. Bukan hanya untuk menghormati para korban, tapi juga untuk memastikan bahwa negara ini benar-benar belajar dari masa lalunya. Kepada anak cucu kita, kita harus bisa berkata, “Kita tidak akan pernah melupakan”.

Editor : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *