Yuni Rukhiyatus Zahroh
“Eksklusi” satu kata yang dapat menggambarkan kondisi terkini daerah Kencong, Gumukmas dan Puger. Daerah pesisir yang terletak di Kabupaten Jember, Jawa Timur ini menyimpan banyak paradoks. Wilayah yang digadang-gadang akan menjadi wilayah pusat aktivitas ekonomi melalui tambak udang yang menjanjikan keuntungan besar. Namun, pada faktanya masyarakat lokal justru mengalami degradasi ekologis, kehilangan ruang hidup, dan perampasan akses terhadap sumber daya. Bahkan, yang jauh lebih ironis adalah respon pemerintah justru dinilai masih minim bahkan cenderung normatif. Jika ditilik lebih dalam lagi, persoalan ini bukan lagi tentang konflik lahan atau pencemaran semata, melainkan potret dari sebuah ketimpangan yang diinstitusikan.
EKSPANSI TAK TERKONTROL

Lahir sejak akhir 1980-an, budidaya tambak udang mulai berkembang di daerah Kencong, Gumukmas, hingga Puger. Aktifitas ini mulai masif pada awal 2000-an, seirama dengan meningkatnya permintaan global akan udang vaname. Namun, ekspansi ini berjalan diluar kontrol tata ruang dan regulasi lingkungan yang ketat. Hal ini dibuktikan dengan laporan yang ada bahwa dari sekian banyak tambak udang di daerah tersebut, hanya dua perusahaan yang memiliki izin resmi, yakni PT. ATG dan PT. DGS, serta besar dugaan bahwa puluhan tambak lainnya beroperasi tanpa surat izin resmi, atau yang kerap disebut “ilegal”, bahkan tambak itu menempati kawasan yang tidak diperuntukkan sebagai tempat budidaya tambak. Sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Daerah (Perda) RT/RW Jawa Timur No.10 Tahun 2023, yang menetapkan Kawasan Pesisir Gumukmas sebagai wilayah non-budidya. Kondisi ini secera jelas dan nyata mencerminkan lemahnya koordinasi antara perencanaan tata ruang dan pengawasan implementasi di lapangan. Jika kita kaji lebih dalam lagi, apa arti sebuah Perda jika tak memiliki instrumen pengendalian yang efektif?
Lahan pertanian seluas lebih dari 150 hektar rusak akibat limbah tambak. Salinitas tanah meningkat, irigasi terkontaminasi, dan produktivitas pertanian menurun drastis. Dalam hal ini masyarakat hanya menikmati ampas produksi, sedang keuntungan ekonomi dinikmati oleh segelintir pemodal tambak. Disitribusi ketimpangan struktural dapat terlihat bahkan dengan mata terpejam. Dimana suatu kelompok memiliki kuasa atas ruang, akses, dan kebijakan, sedang kelompok lain dimarjinalkan. Dalam analisis teori keadilan distributif, ini merupakan bentuk nyata dari pelanggaran prinsip dasar pemerataan manfaat dan beban pembangunan.
PEMERINTAH GAGAL MENDENGAR
Sudah sering kali warga setempat melakukan protes. Mulai dari pengaduan administratif, laporan ke dinas lingkungan hidup, hingga aksi demonstrasi terbuka. Tercatat pada Februari 2025 terjadi demonstrasi terbuka yang mengangkat kasus ini di depan DPRD Jember yang di layangkan oleh para petani, nelayan, hingga organisasi mahasiswa. Namun, apa hasilnya? Pemerintah hanya melakukan respon prosedural yang berupa pemeriksaan limbah dan inspeksi lokasi. Tindakan ini jauh dari definisi penanganan yang bersifat transformasional.
Langkah yang diambil oleh pemerintah ini jelas menimbulkan kecurigaan besar, benarkah ada relasi kuasa yang timpang antara elite pemodal tambak dengan pembuat kebijakan. Ketika aktor ekonomi terus mampu menembus batas legalitas dan terus beroperasi tanpa sanksi, maka demokrasi lokal telah digadaikan pada oligarki lokal. Inilah bentuk paling konkret dari apa yang disebut ekslusi struktural. Dimana masyarakat dikeluarkan dari proses pengambilan keputusan yang mencakup ruang hidupnya sendiri, sedang negara membiarkan eksploitasi berlangsung tanpa kontrol.
Diamnya pemerintahan merupakan bagian dari kekerasan simbolik. Ketika negara tak lagi netral dan justru menjadi bagian dari struktur yang mempertahankan ketimpangan. Dalam situasi ini protes warga bukan lagi sekedar ekspresi kekecewaan, tetapi perlawanan atas tatanan sosial-politik yang timpang dan disfungsional. Maka Kembali kami tekankan, tambak udang di Gumukmas bukan hanya soal udang dan limbah. Ia merupakan potret dari bagaimana negara, hukum, dan ekonomi bisa bersatu untuk menyingkirkan rakyat. Dan selama itu terjadi, kita tidak hanya berbicara tentang krisis lingkungan tetapi juga krisis peradaban.
Editor : Asna Aufia