Oleh : Amalia Putri Zahrani
Universitas Jember (UNEJ) merupakan salah satu perguruan tinggi negeri terbesar di Jawa Timur yang kini sedang menapaki babak baru dalam sejarah kelembagaannya. Rencana transformasi dari status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) tengah dipersiapkan secara bertahap. Secara normatif, status PTN BH diharapkan mampu mempercepat proses pengambilan keputusan, meningkatkan fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran, serta memperluas kerja sama di tingkat nasional maupun internasional. Transformasi ini mendorong perguruan tinggi menjadi lebih otonom, adaptif, dan kompetitif. Namun demikian, langkah ini juga menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Model PTN BH dinilai berpotensi membawa dampak komersialisasi pendidikan, di mana mahasiswa diposisikan sebagai konsumen dalam sistem pasar pendidikan. Dalam konteks Universitas Jember yang selama ini dikenal sebagai “kampus rakyat”, kekhawatiran ini menjadi sangat relevan dan patut menjadi perhatian publik.
Transformasi menjadi PTN BH memang memberi keleluasaan lebih bagi UNEJ dalam mengelola keuangan dan sumber daya. Kampus dapat mendirikan badan usaha, menetapkan tarif layanan, hingga merumuskan kebijakan akademik secara mandiri. Namun, otonomi ini bukan tanpa risiko. Pengalaman sejumlah PTN BH seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada Uang Kuliah Tunggal (UKT). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa UNEJ dapat mengikuti jejak serupa. Jika biaya kuliah melonjak tajam, mahasiswa dari keluarga kurang mampu akan menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka bisa saja memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan atau berpindah ke perguruan tinggi swasta yang lebih murah, namun belum tentu memiliki kualitas setara.
Ketimpangan akses pendidikan pun menjadi ancaman nyata. Keberadaan UNEJ sebagai perguruan tinggi negeri selama ini telah menjadi harapan besar bagi banyak keluarga di wilayah Jember dan sekitarnya, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Jika status PTN BH justru membatasi akses masyarakat lokal karena tingginya biaya atau proses seleksi yang kian ketat, maka transformasi ini bisa dinilai gagal menjalankan amanat sosial kampus. Dalam kerangka itu, pendidikan berisiko dipandang sebagai komoditas, bukan lagi hak dasar warga negara. Negara secara perlahan menarik diri dari tanggung jawab utama dalam pembiayaan pendidikan, dan menyerahkannya kepada institusi yang harus beroperasi secara mandiri. Bila universitas dijalankan layaknya korporasi, maka logika pasar akan mendominasi kebijakan. Konsekuensinya, nilai-nilai keadilan sosial dan keberpihakan terhadap kelompok marginal dapat tersingkir dari prioritas lembaga pendidikan tinggi.
Transformasi UNEJ menjadi PTN BH tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Diperlukan pendekatan yang hati-hati dan berlandaskan prinsip keadilan sosial. Apalagi, banyak mahasiswa UNEJ berasal dari keluarga berpenghasilan rendah di Jember dan kawasan sekitarnya. Salah satu langkah strategis untuk mencegah komersialisasi adalah dengan menjamin keterjangkauan biaya pendidikan melalui perluasan skema beasiswa afirmatif. Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Jember, memiliki peluang besar untuk berkontribusi lewat penyediaan bantuan khusus bagi mahasiswa lokal. Beasiswa yang sedang ramai diperbincangkan, seperti Beasiswa Wadul Gus E, memiliki potensi besar untuk memperkuat perlindungan bagi mahasiswa yang rentan secara ekonomi.
Selain pembiayaan, UNEJ juga perlu membentuk mekanisme akuntabilitas publik yang kuat. Kebijakan strategis seperti penentuan UKT, pendirian badan usaha kampus, hingga kerja sama eksternal harus disusun secara transparan dan partisipatif, melibatkan unsur mahasiswa, dosen, dan masyarakat sipil. Ini penting agar arah kebijakan kampus tetap sejalan dengan kebutuhan dan harapan publik, khususnya warga Jember yang telah lama menaruh harapan besar kepada UNEJ sebagai simbol mobilitas sosial. Jika tidak dikelola dengan prinsip keberpihakan, transformasi ini justru berpotensi memperlebar ketimpangan pendidikan di daerah. Padahal, semangat awal pendirian UNEJ adalah menciptakan akses pendidikan tinggi yang inklusif bagi masyarakat Tapal Kuda dan sekitarnya.
Universitas Jember lahir dari semangat kolektif masyarakat untuk menghadirkan pendidikan tinggi yang terjangkau dan membumi. Transformasi kelembagaan tidak boleh menghapus identitas historis dan sosiologis tersebut. Otonomi bukan berarti melepaskan tanggung jawab sosial. Justru dalam status baru ini, UNEJ harus mampu membuktikan bahwa otonomi dapat berjalan beriringan dengan keberpihakan dan keadilan. Kampus tidak boleh menjadi menara gading yang hanya melayani kalangan elite. Ia harus tetap menjadi lokomotif perubahan sosial dan ekonomi bagi wilayahnya.
Ke depan, besar harapan agar transformasi UNEJ menjadi PTN BH dapat menjadi contoh universitas otonom yang tetap inklusif dan adil. Bukan hanya mengejar akreditasi internasional atau keuntungan institusional, tetapi juga konsisten menjalankan tugas utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada masyarakat, maka transformasi ini tidak akan menjadi ancaman, melainkan peluang besar untuk memperkuat kontribusi UNEJ dalam pembangunan daerah dan nasional.
Editor visual : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti