Home / Lensa Opini / AS dan Israel Serang Iran: Diplomasi Global di Persimpangan Jalan

AS dan Israel Serang Iran: Diplomasi Global di Persimpangan Jalan

Oleh : Syahreza Devano Putra Wardana

Akhir bulan Juni 2025, dunia dikejutkan oleh berita bahwa AS secara resmi terlibat dalam operasi militer Israel yang menyerang tiga lokasi fasilitas nuklir di Iran. Langkah ini diambil dengan alasan untuk mencegah ancaman nuklir dari Teheran, namun malah memicu kekhawatiran yang mendalam akan terjadinya perang terbuka di kawasan Timur Tengah. Serangan ini mengindikasikan perubahan signifikan dalam kebijakan AS terhadap Iran dan menghasilkan dampak sosial politik yang luas tidak hanya untuk negara-negara yang terlibat, tetapi juga bagi tatanan diplomasi global secara keseluruhan. 

Serangan ini menargetkan lokasi nuklir di Fordow, Natanz, dan Isfahan area-area kunci dalam program nuklir Iran. Presiden Amerika Serikat menyatakan bahwa ini adalah langkah pencegahan yang “berhasil”, sementara Iran menyebutnya sebagai tindakan agresif yang melanggar hukum internasional. Walaupun tak ada laporan tentang radiasi, ketegangan politik justru meningkat secara signifikan. Iran, melalui kementerian luar negerinya, menegaskan bahwa mereka berkomitmen untuk mempertahankan semua pilihan dalam rangka membela diri. Serangan ini juga berdampak langsung pada evakuasi warga sipil AS yang berada di Israel dan pengurangan jumlah staf diplomatik di Irak. 

Bagi komunitas global, peristiwa ini adalah pukulan telak terhadap prinsip dasar Piagam PBB yang menghargai kedaulatan negara. Meskipun Israel dan AS mengklaim bertindak untuk melindungi keamanan kawasan, pendekatan sepihak semacam ini justru berisiko memperpanjang konflik, mengancam stabilitas dunia, dan menghalangi upaya diplomatik. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa telah mengungkapkan kekhawatiran dan menyerukan agar eskalasi dihentikan. Dari perspektif sosial-politik internasional, ini bukan sekadar konflik militer, melainkan cerminan ketegangan antara penggunaan kekuatan (hard power) dan pendekatan diplomasi (soft power). Ketika negara-negara berkuasa mengabaikan prosedur internasional, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana masa depan hukum internasional, jika kekuatan militer terus diterapkan sebagai alat utama dalam penyelesaian konflik?

Source: thesaveratimes.com

Di sisi lain, konflik ini turut memengaruhi stabilitas kawasan lain, termasuk Asia Tenggara. Harga minyak mentah sempat melonjak sebagai respons pasar terhadap risiko geopolitik yang lebih luas. Bagi negara seperti Indonesia yang bergantung pada impor energi, konflik ini bisa berdampak pada inflasi dan ketahanan ekonomi. Tidak hanya itu, muncul pula tantangan dalam menjaga posisi netral dan bebas aktif, terutama ketika tekanan global datang dari dua arah blok Barat yang dipimpin AS dan kekuatan Timur seperti Tiongkok dan Rusia. Indonesia, dengan pendekatan “aktif bebas” dalam urusan internasional, memiliki posisi yang krusial tetapi juga rentan. Tanpa kehati-hatian, Indonesia berisiko terjerat dalam konflik kepentingan global, baik melalui tekanan diplomatik maupun kompetisi ekonomi. Dalam konteks ini, partisipasi Indonesia dalam G20 serta kepemimpinan sebelumnya di ASEAN sangat vital untuk memperkuat jalur diplomatik dan mempertahankan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik.

Dari perspektif sosial, ketegangan global berdampak pada dinamika dalam negeri warga Indonesia semakin terpapar pada polarisasi isu internasional, baik melalui platform media sosial maupun pandangan elite politik. Dukungan yang tidak kritis terhadap salah satu pihak dapat memicu ketegangan di antara kelompok, terutama jika dihubungkan dengan isu agama dan identitas. Oleh karena itu, sangat penting bagi media dan pemerintah untuk menyampaikan informasi dengan cara yang netral dan tepat, serta mendorong masyarakat untuk memiliki kesadaran kritis agar tidak terjebak dalam narasi ekstrem dari luar. 

Dunia berada di titik krisis harus memilih antara melanjutkan siklus kekerasan tanpa akhir atau berkumpul untuk mendiskusikan perdamaian. Serangan udara Amerika dan Israel terhadap Iran seharusnya menjadi sinyal peringatan bagi dunia bahwa dominasi militer tidak pernah mengakhiri konflik dengan efektif. Justru sebaliknya, hal ini membuka jalan untuk kerusakan yang lebih parah. Tindakannya bukan dengan menambah senjata, tetapi dengan menciptakan lebih banyak kesempatan untuk berdialog. Indonesia serta negara-negara nonblok lainnya bisa berfungsi sebagai penghubung dalam upaya perdamaian. Pikirkan sejenak akankah kita terus membiarkan negara besar mendominasi kebenaran dan kekuasaan? Atau waktunya bagi negara-negara berkembang untuk bersatu dalam upaya diplomasi yang bermartabat? Mudah-mudahan, generasi yang lebih muda tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga menjadi suara alternatif di tengah kebisingan politik global. Sebab, masa depan dunia tidak ditentukan oleh ledakan atau misil, melainkan oleh keberanian untuk berkomunikasi, mendengarkan, dan menciptakan perdamaian yang adil bagi semua.

Editor : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *