Home / Lensa Opini / Jeritan Buruh dan Pendidikan

Jeritan Buruh dan Pendidikan

oleh : Hasyisy Ahmad

Ketika mesin penjepit melakukan press yang kuat terhadap muatan yang juga tidak kalah kuat, maka yang terjadi adalah mesin penjepit tersebut akan goyah kemudian patah. Buruh, sekelompok pekerja kasar yang kerjanya tidak selalu mendapatkan jaminan keselamatan kerja saat ia melakukan pekerjaannya. Buruh, sekelompok pekerja yang jaminan keselamatan hidupnya hanya sebatas bualan bagi pemilik modal, sehingga tidak ada keseriusan dalam menjamin keselamatan kerja buruh. Dan buruh, adalah manusia dengan himpitan kehidupan keras yang terkadang membuat sang penjepit (pemilik modal) merasakan amarahnya.

Ilustrasi by @samartboonyang

Tepat 1 Mei merupakan peringatan Hari Buruh Internasional. Peringatan yang awalnya berasal dari amarah para buruh di Chicago, AS untuk merebut kembali hak hidupnya dengan menyerukan pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari, hal ini diakibatkan kezaliman kapitalisme untuk terus memeras keringat mereka tanpa rasa kemanusiaan. Sejarah ini bermula pada insiden Haymarket yang terjadi pada 1886, dimana ribuan pekerja turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kemudian, tiga tahun setelah peristiwa tersebut. International Socialist Congress di Paris menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dan mulai rutin memperingatinya.

Menurut Ahmad & Al Ayubbi  (2024) Gerakan Serikat Pekerja (SP) pertama kali terbentuk di Indonesia pada abad 19, diawali dengan lahirnya Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG) atau Serikat Pekerja Buruh Hindia Belanda pada tahun 1879 yang dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di Belanda. Kondisi kala itu, terdapat beberapa organisasi buruh di Indonesia yang berfokus ada sektor transportasi dan perkebunan. Organisasi buruh juga berpengaruh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. organisasi-organisasi buruh ini mendahului partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain (Hadiz, 2005).

Sementara itu, sehari setelah hari buruh merupakan Hari Pendidikan Nasional. Hari yang ditetapkan untuk membalas jasa tokoh pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara. Hari Pendidikan Nasional didasarkan pada kelahiran tokoh yang berjuluk “Bapak Pendidikan Indonesia” tersebut. Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa mendidik kaum muda merupakan syarat utama dalam membebaskan diri dari jeratan penjajah, ini berarti manusia Indonesia harus merdeka dalam menjalankan segala aspek kehidupannya. Keinginan untuk merdeka harus dimulai dengan mempersiapkan kaum bumi putra yang bebas, mandiri, dan pekerja keras. Generasi muda harus dipersiapkan agar kelak menjadi bangsa yang mandiri, sadar akan kemerdekaan, sehingga kemerdekaan itu dimiliki oleh orang yang terdidik dan memiliki jiwa merdeka (Marihandono, 2017).

Namun mirisnya, perjuangan beliau yang hampir dilakukan pada setiap menit dalam hidupnya kini hanya sebuah harapan yang sulit digapai. Kini pendidikan Indonesia menjadi barang mewah yang tidak semua warga negaranya bisa dimiliki. Selain mewah, pendidikan di Indonesia juga tidak ramah kantong, alias mahal. Pendidikan pada tataran perguruan tinggi harus dibanderol dengan uang yang tidak sedikit. Selain itu, persoalan kurikulum Indonesia yang sering berubah-ubah menjadi juga batu penghalang besar bagi pendidikan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu memberikan dorongan terhadap perkembangan siswa didik, yakni pendidikan mengajarkan untuk mencapai suatu perubahan dan dapat bermanfaat di lingkungan masyarakat. Kondisi saat ini berbanding terbalik, para golongan terdidik banyak menindas masyarakat yang kurang terdidik dan tidak ada suatu tindakan yang gratis, semuanya membutuhkan benefit yang setimpal dalam hal ini adalah uang.

Pendidikan kapitalisme telah merubah arah pendidikan global, membuat manusia hidup secara individual dan pragmatis. Terlebih saat dunia memasuki Revolusi Industri keempat, kaum intelektual terutama ahli bidang STEM (science, technology, engineering, and mathematics – bidang ilmu yang dianggap penting dan menguntungkan dalam Revolusi Industri keempat) menjadi anggota baru sistem kapitalisme dan beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (Dyer-Witheford 2015). Salah satu poin penting mengapa pendidikan Indonesia tidak seperti yang diharapkan para pendiri bangsa adalah persoalan kemiskinan yang tidak kunjung tuntas. Bagaimana mau berbicara pendidikan selama perut keroncongan dan tangan tidak memegang uang. Kemiskinan struktural maupun kemiskinan mental menjadi masalah utama untuk memajukan Indonesia. Menurut (Haughton & Khander, 2009), kemiskinan adalah fenomena multidimensi dan tidak dapat diatasi dengan solusi sederhana. Kemiskinan juga berkaitan erat dengan ketimpangan, utamanya dalam sektor pendidikan. Jika kebutuhan ekonomi tak lagi tercukupi maka opsi untuk mengenyam pendidikan tidak lagi menjadi prioritas.

Tidak berbeda jauh dalam hal penindasan, kelompok buruh juga mengalami jeritan mendalam bagi kehidupannya. Kini, buruh hanya menjadi baut dan sekrup bagi korporasi, kehadirannya hanya sebatas menyalurkan tenaga kerjanya serta tidak peduli terhadap nasib kehidupan buruh yang tidak sejahtera. Kemajuan teknologi dan variasi moda industri baru tidak selalu menjawab bahwa eksploitasi dan penyerapan terhadap manusia kepada manusia lain tidak terjadi. Hari buruh yang diperingati beberapa waktu lalu menjadi ajang para buruh untuk menyampaikan jeritan mereka. Istilah May Day atau Hari Buruh merupakan momen tahunan yang tidak luput untuk dimanfaatkan menyalurkan jeritan para buruh. Berbagai tuntutan dan harapan disampaikan, salah satunya adalah protes terhadap sisitem ojek online yang melakukan keputusan potongan secara sepihak. Para mitra ojek online (driver)  merasa geram dan frustasi kepada sistem tersebut lantaran output dari kebijakan sistem benar-benar mematikan kehidupan para driver dalam mencari pundi-pundi rupiah. Hal ini mengingatkan kembali dalam kajian Marx, bahwa pemodal (dalam hal ini sistem PT. GOTO yang merupakan pusat sistem ojek online) melakukan eksploitasi terhadap driver ojek online. Berbeda dengan marx yang membuat istilah proletar sebagai seseorang yang tidak memiliki alat produksi dan hanya mengandalkan tenaganya. Driver ojek online memiliki moda produksi (motor dan handphone) sebagai alat produknya untuk mencari penghasilan.

Marx mengatakan bahwa pemodal melalui korporasi, mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mengorbankan tenaga para buruh. Para pemodal memberlakukan kebijakan kerja yang tidak sesuai dengan kontrak kerja para buruhnya. Lebih lanjut, ternyata aplikasi Gojek seringkali memberikan promo dan diskon yang menarik bagi penggunanya, namun begitu mencekik untuk mitra kerjanya (para driver). Praktik ini sering disebut sebagai membakar uang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, seringkali para pengguna tidak mengetahui bahwa diskon tersebut justru membuat driver semakin merana. Berbagai potongan diberikan kepada para driver yang dibuat oleh sistem Gojek. Hal ini kembali mengingatkan kita terhadap cita-cita para pendiri bangsa yang salah satunya tercantum dalam UUD 1945, yakni memajukan kesejahteran umum. Indonesia telah 80 tahun merdeka dengan berbagai peristiwa didalamnya, namun sayangnya cita-cita tersebut seakan-akan utopis untuk diwujudkan.

Hemat penulis, persoalan pendidikan dan buruh selalu menjadi pekerjaan rumah yang selalu dilupakan para pemangku kebijakan. Sudah semestinya negara hadir dalam persoalan ini dan memberikan solusi terhadap masalah ini. Bukan malah membuat proyek-proyek baru yang belum tentu itu menjawab kebutuhan rakyat. Kemunculan fenomena baru bagi perpolitikan Indonesia yakni adanya penunggangan kelompok pemodal terhadap para pemangku kebijakan telah meyakinkan kita bahwa negara tidak lagi hadir untuk rakyat. Negara justru hadir untuk memenuhi kebutuhan dan pesanan para pemodal yang tujuan akhirnya adalah melanggengkan kekuasaan pemodal. Jika kondisi ini terus langgeng, pendidikan yang sulit dijangkau dan buruh tertindas terus menerus maka bukan suatu hal mustahil jika pada akhirnya revolusi adalah pilihan terakhir untuk menjawab permasalahan yang ada.

Penyunting : Aulia Nastiti T.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *