Home / Lensa Opini / Frugal Living Jadi Gaya Hidup Bijak atau Sekadar Tuntutan Bertahan Hidup?

Frugal Living Jadi Gaya Hidup Bijak atau Sekadar Tuntutan Bertahan Hidup?

Kenny Leviana A.

Dalam beberapa waktu terakhir, istilah frugal living atau gaya hidup hemat semakin sering muncul di berbagai platform media sosial. Banyak anak muda membagikan tips menabung, mengurangi pengeluaran, dan menjalani hidup minimalis. Sekilas, hal ini tampak sebagai bentuk kesadaran finansial yang patut diapresiasi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, muncul pertanyaan, apakah semua ini benar-benar pilihan sadar, atau justru bentuk adaptasi terpaksa dari generasi yang hidup dalam tekanan ekonomi?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kelompok usia muda (15–24 tahun) mengalami tekanan konsumsi paling besar dalam lima tahun terakhir, terutama pada kebutuhan pokok dan transportasi. Dalam kondisi seperti ini, frugal living seringkali bukan lagi gaya hidup ideal yang dipilih, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan. Pada tahun 2024, pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia mencapai Rp12,34 juta per tahun, meningkat dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini mencerminkan tekanan biaya hidup yang semakin nyata, terutama pada kebutuhan pokok yang menjadi porsi terbesar dalam pengeluaran masyarakat, yakni sekitar 50,10 persen dari total pengeluaran bulanan. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan masyarakat, termasuk generasi muda, terserap untuk memenuhi kebutuhan dasar yang terus meningkat harganya.

Survei Populix pada April 2024 mengungkapkan bahwa 69% Gen Z Indonesia menghabiskan uangnya untuk makanan, diikuti produk kecantikan (14%), transportasi (9%), hiburan (5%), dan liburan (3%). Dominasi pengeluaran konsumtif ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya hidup hemat, tekanan sosial dan gaya hidup tetap memengaruhi perilaku keuangan mereka.

Di era digital, media sosial sangat berperan dalam membentuk pandangan generasi muda tentang hidup hemat. Unggahan seperti “sehari cukup dengan Rp10 ribu” atau “hemat ala anak kos” sering viral dan mendapat apresiasi. Sekilas terlihat inspiratif, namun narasi semacam ini berisiko menyederhanakan kenyataan. Gaya hidup hemat bukan semata pilihan sadar, melainkan bentuk adaptasi atas tekanan ekonomi yang semakin nyata. Ketika harga kebutuhan pokok naik sementara pendapatan stagnan, hidup hemat menjadi keharusan. Gaya hidup ini muncul dari serangkaian masalah struktural yang membelit anak muda, mulai dari inflasi yang terus meningkat, sulitnya memiliki rumah, hingga biaya pendidikan tinggi yang tidak ramah kantong. Survei Jakpat tahun 2023 mencatat lebih dari 70% Gen Z kesulitan menabung karena pengeluaran pokok yang tinggi. Artinya, meskipun berusaha hidup hemat, banyak anak muda sebenarnya sedang berjuang bertahan dalam sistem yang belum mendukung pertumbuhan finansial mereka.

Lebih jauh lagi, narasi frugal living yang terus digaungkan di ruang publik tanpa membedakan konteks sosial-ekonomi berisiko menciptakan standar baru yang justru menambah beban psikologis generasi muda. Mereka yang tidak mampu mengikuti “standar hemat” yang viral di media sosial akan merasa gagal secara pribadi, padahal akar masalahnya adalah ketimpangan sistemik. Fenomena ini juga dapat menimbulkan polarisasi sosial, di mana kelompok yang mampu bertahan dengan gaya hidup sangat hemat dianggap lebih unggul atau “lebih bijak”, sementara yang lain dipandang kurang disiplin. Padahal, setiap individu memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda, sehingga solusi kolektif jauh lebih penting daripada sekadar menonjolkan pencapaian individu dalam berhemat.

Ketika pilihan hidup dibatasi oleh ketidakpastian ekonomi, narasi “bijak mengatur keuangan” berubah menjadi kompromi atas sistem yang gagal memenuhi hak dasar warga. Di tengah tekanan tersebut, muncul ironi bahwa banyak program literasi keuangan justru menyasar individu, bukan sistem. Kampanye hidup hemat, menabung sejak dini, atau investasi kecil-kecilan memang penting, tetapi terlalu sering menutupi persoalan struktural yang lebih besar. Seolah-olah masalah ekonomi bisa diselesaikan hanya dengan mengatur gaya hidup pribadi, padahal daya beli masyarakat terus tergerus akibat kebijakan ekonomi yang belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah lebih sering mendorong konsumsi melalui insentif belanja dan pinjaman berbunga rendah, ketimbang memastikan stabilitas harga barang pokok atau akses pekerjaan layak bagi anak muda.

Selain itu, kebijakan fiskal negara pun kerap timpang. Subsidi yang seharusnya dinikmati masyarakat bawah banyak yang bocor atau salah sasaran. Minimnya intervensi negara terhadap sektor informal, yang menjadi tumpuan hidup mayoritas Gen Z dan milenial, membuat kelompok ini rentan terjebak dalam siklus bertahan hidup: hidup pas-pasan, mengurangi kebutuhan primer, dan tidak punya ruang untuk menabung atau berkembang secara produktif. Tekanan hidup hemat ini tidak hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga pada kesehatan mental. Gaya hidup frugal yang dijalani karena keterpaksaan sering menimbulkan kecemasan, kelelahan emosional, hingga perasaan bersalah saat membeli sesuatu di luar kebutuhan pokok. Laporan WHO dan UNICEF tahun 2023 menyebutkan, bahwa satu dari lima anak muda di Asia Tenggara mengalami gangguan psikologis, dengan pemicu utama tekanan ekonomi dan kecemasan masa depan. Ketika hidup harus selalu dihitung dan tidak ada ruang untuk bernapas, bukan tidak mungkin yang lahir adalah generasi yang diam-diam lelah, meski di permukaan tampak kuat.

Selain itu, penting diingat bahwa pembangunan ekonomi yang sehat seharusnya tidak membuat generasi muda terjebak dalam pola pikir bertahan hidup terus-menerus. Negara yang maju adalah negara yang mampu menciptakan ekosistem ekonomi di mana warganya memiliki ruang untuk berkembang, berinovasi, dan menikmati hidup tanpa dihantui kecemasan finansial setiap saat. Jika pemerintah dan pemangku kebijakan terus mengabaikan akar persoalan, risiko stagnasi sosial dan ekonomi akan semakin besar. Generasi muda yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan justru terhambat potensinya karena terus-menerus dipaksa beradaptasi dengan keterbatasan. Sudah saatnya kebijakan publik diarahkan pada penciptaan peluang, bukan sekadar menuntut penghematan.

Frugal living tidak boleh hanya menjadi tren sesaat atau solusi individual yang menutupi persoalan ekonomi makro yang lebih besar. Ketimpangan harga kebutuhan pokok, inflasi yang terus menggerus daya beli, serta kebijakan fiskal yang belum memadai membuat hidup hemat bukan pilihan, melainkan keharusan. Ini menjadi panggilan bagi pemerintah dan pemangku kebijakan untuk mengambil langkah nyata yang tidak hanya mengandalkan literasi keuangan individu, tetapi juga memperbaiki stabilitas ekonomi secara menyeluruh. Perbaikan kebijakan makro, seperti pengendalian inflasi, penyesuaian upah yang adil, serta jaminan lapangan kerja berkualitas, harus menjadi prioritas utama. Selain itu, perhatian pada kesehatan mental generasi muda juga sangat penting, karena tekanan ekonomi yang berkepanjangan berpotensi menimbulkan dampak psikologis serius.

Saya sepakat dengan pernyataan ekonom Prof. Faisal Basri, bahwa kesejahteraan rakyat bukan hanya soal seberapa pintar mereka mengatur uang, tetapi seberapa baik sistem yang mendukung mereka hidup layak. Sudah saatnya negara berhenti menggantungkan solusi pada individu, dan mulai menata ulang kebijakan ekonomi makro yang lebih berpihak pada kesejahteraan. Literasi keuangan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan kestabilan harga, jaminan kerja layak, dan dukungan psikososial yang memadai. Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan anak muda bukan sekadar tips menabung atau hidup irit, tetapi jaminan bahwa hidup layak bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan hak yang nyata.

Editor : Asna Aufia
Penyunting : Aulia Nastiti T.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *