Home / Lensa Opini / Pendidikan Tanpa Tuntutan, Generasi Tanpa Daya Juang

Pendidikan Tanpa Tuntutan, Generasi Tanpa Daya Juang

Oleh : Kenny Leviana

Kebijakan naik kelas otomatis bagi seluruh siswa, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, semakin banyak diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Dengan dalih pendekatan psikologis dan semangat inklusif, siswa dianggap berhak melanjutkan ke tingkat berikutnya tanpa memandang capaian belajar. Namun di balik narasi yang terdengar bijak ini, tersimpan kegelisahan. Jika seluruh siswa dinaikkan kelas tanpa melihat proses dan hasil belajarnya, maka apa arti usaha, kedisiplinan, dan evaluasi dalam pendidikan? Apakah kita sedang mendidik dengan empati, atau justru membiarkan generasi kehilangan makna evaluasi bukan bentuk hukuman, tetapi alat ukur untuk memastikan bahwa siswa memang siap untuk naik ke level selanjutnya. Ketika sistem tidak lagi mensyaratkan pencapaian akademik minimum, maka proses belajar akan kehilangan arah.

Hal ini diperkuat oleh survei nasional yang dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tahun 2024, yang menemukan bahwa 68% guru menyatakan motivasi belajar siswa menurun drastis sejak kebijakan naik kelas otomatis diberlakukan. Siswa merasa aman, bahkan ketika tidak mengumpulkan tugas atau pasif dalam pembelajaran, karena hasil akhir tetap sama, yaitu naik kelas. Guru pun mengalami dilema. Mereka kehilangan daya dorong untuk mendisiplinkan siswa, karena tidak lagi punya dasar yang kuat untuk menilai secara objektif. Kedisiplinan dan kerja keras siswa pun kehilangan nilainya.

Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2023 yang dirilis oleh Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) Kemendikbudristek, tercatat bahwa 53% siswa kelas 8 tidak mencapai kompetensi minimum dalam literasi membaca dan 47% siswa belum mencapai kompetensi minimum dalam numerasi (berhitung). Meskipun angka capaian akademik terus menurun, siswa tetap naik kelas. Tidak ada rem atau refleksi dari sistem. Ini menandakan bahwa sistem lebih peduli pada kelulusan administratif daripada kualitas pemahaman. Masalah ini bukan semata akademik, melainkan struktural. Ketika evaluasi tidak lagi menjadi tolak ukur, pendidikan hanya menjadi formalitas tahunan yang sekadar “mengalir”, bukan mendidik. Kebijakan yang terlalu memanjakan siswa justru berpotensi membunuh semangat belajar itu sendiri. Jika naik kelas tidak lagi memerlukan usaha, maka apa yang sedang kita ajarkan? Dunia nyata tidak mengenal promosi otomatis. Dunia kerja tidak memberi kenaikan jabatan hanya karena usia bertambah. Maka aneh bila sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan daya saing justru membiasakan anak untuk lolos tanpa keringat. Naik kelas bukanlah hak mutlak, namun naik kelas adalah hasil dari tanggung jawab, kedisiplinan, dan kerja keras, sehingga ia punya nilai.

Tidak adanya evaluasi sebagai syarat naik kelas juga menunjukkan lemahnya mekanisme kontrol kebijakan. Kebijakan ini mencerminkan penyederhanaan masalah pendidikan yang kompleks dengan solusi administratif yang instan. Padahal, permasalahan pendidikan memerlukan pendekatan sistemik, bukan sekadar penyamarataan yang meniadakan evaluasi. Kemudahan memang dibutuhkan dalam pendidikan, terutama bagi siswa dengan hambatan belajar atau kondisi khusus. Tapi kemudahan yang menghapus evaluasi dan tanggung jawab bukanlah bentuk empati melainkan bentuk pengabaian. Jika semua anak naik kelas tanpa usaha, maka yang sedang kita bina bukan generasi emas, melainkan generasi ilusi.

Pendidikan tidak boleh hanya memikirkan apa yang “terlihat baik” secara administratif. Pendidikan harus berani jujur, mendidik dengan hati, tapi juga menanamkan nilai bahwa segala sesuatu dicapai dengan proses. Karena sejatinya, sekolah bukan tempat menyenangkan semua orang tapi tempat menyiapkan manusia yang mampu bertahan, bertumbuh, dan bertanggung jawab di dunia nyata.


Penyunting : Asna Aufia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *